Beranda | Artikel
Berdalil dengan Akal – Tafsir Surah Ali Imran 65
5 hari lalu

Berdalil dengan Akal – Tafsir Surah Ali Imran 65 adalah kajian tafsir Al-Quran yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. Kajian ini beliau sampaikan di Masjid Al-Barkah, komplek studio Radio Rodja dan Rodja TV pada Selasa, 19 Rabiul Akhir 1446 H / 22 Oktober 2024 M.

Berdalil dengan Akal – Tafsir Surah Ali Imran 65

Kita masuk ke Surah Ali ‘Imran ayat 65. Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تُحَاجُّونَ فِي إِبْرَاهِيمَ وَمَا أُنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ وَالْإِنْجِيلُ إِلَّا مِنْ بَعْدِهِ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Wahai Ahli Kitab, mengapa kalian berhujah mengenai Ibrahim? Padahal Taurat dan Injil tidaklah diturunkan kecuali setelah Nabi Ibrahim. Apakah kalian tidak berpikir?” (QS. Ali ‘Imran [3]: 65)

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mengaku berada di atas millah Nabi Ibrahim. Sebagian ulama menjelaskan bahwa orang Yahudi mengklaim Nabi Ibrahim sebagai seorang Yahudi, dan orang Nasrani menganggapnya sebagai seorang Nasrani. Padahal, Yahudi dan Nasrani muncul jauh setelah Nabi Ibrahim. Bagaimana mungkin orang-orang terdahulu dinisbatkan kepada generasi yang datang kemudian? Tentu, ini adalah sesuatu yang sangat aneh.

Pada kajian sebelumnya sudah kita ambil tiga faedah. Sekarang yang keempat.

Faedah keempat, jangan kita menolak akal sama sekali dalam berdalil, sebagaimana juga tidak boleh kita bersandar kepada akal lalu meninggalkan dalil. Artinya, berdalil dengan akal itu dibutuhkan. Karena manusia dalam berdalil dengan akal terbagi menjadi tiga kelompok: dua menyimpang, satu benar.

  1. Kelompok pertama yang menyimpang adalah mereka yang berlebihan sehingga mendahulukan akal di atas dalil dan menganggap bahwa akal lebih tinggi daripada dalil. Ini jelas batil.
  2. Kelompok kedua, adalah yang mengingkari penggunaan akal dalam berdalil sama sekali.
  3. Kelompok ketiga, yang merupakan posisi yang benar, adalah mereka yang merujuk akal selama tidak bertabrakan dengan syariat. Karena akal, apabila tidak bertabrakan dengan syariat, Allah Subhanahu wa Ta’ala pun menyuruh kita untuk berpikir dalam banyak persoalan.

Contohnya, Allah berfirman:

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Apakah kalian menyuruh manusia kepada kebaikan, sementara kalian melupakan diri kalian sendiri, padahal kalian membaca Alkitab? Apakah kalian tidak berakal?” (QS. Al-Baqarah [2]: 44)

Allah juga berfirman ketika orang Yahudi mengatakan bahwa Nabi Ibrahim itu seorang Yahudi, dan orang Nasrani mengatakan bahwa Nabi Ibrahim itu seorang Nasrani, maka Allah membantah dengan akal: Taurat dan Injil turun setelah Nabi Ibrahim. Jadi, bagaimana mungkin Nabi Ibrahim bisa dinisbatkan kepada generasi yang datang jauh setelahnya? Tentu, secara akal, ini sangat tidak masuk akal.

Faedah kelima, penetapan bahwa Taurat dan Injil diturunkan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita wajib beriman bahwa Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur’an semuanya berasal dari Allah, diturunkan oleh-Nya. Namun, yang benar-benar dijaga langsung oleh Allah hanyalah Al-Qur’an. Adapun Taurat dan Injil, penjagaannya diserahkan kepada rahib-rahib dan ulama mereka. Akan tetapi, apa yang terjadi? Allah mengabarkan bahwa justru mereka mengubah-ubahnya.

Faedah keenam, penetapan bahwa Allah Maha Tinggi. Allah berfirman bahwa Taurat dan Injil tidak diturunkan kecuali setelah Nabi Ibrahim. Maka, konsep “turun” ini menunjukkan adanya sesuatu dari atas ke bawah.

Faedah ketujuh, kaum Bani Israil itu bodoh karena perbuatan mereka tidak hanya bertentangan dengan dalil, tetapi juga dengan akal. Mereka mengklaim bahwa Nabi Ibrahim itu Yahudi. Bagaimana mungkin Nabi Ibrahim dikatakan Yahudi, sementara agama Yahudi baru ada pada masa Nabi Musa setelah kurun waktu yang lama dari masa Nabi Ibrahim? Hal ini jelas sangat bertentangan, baik secara akal maupun dalil.

Faedah kedelapan, pujian terhadap akal, bahwa akal tidak membawa pemiliknya kecuali kepada kebaikan. Hakikat akal, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hibban dalam kitab Raudhatul ‘Uqala, adalah sesuatu yang membimbing kita kepada kebaikan. Orang yang berakal adalah orang yang dapat berpikir jernih untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan akal, kita bisa memahami perbedaan ini, meskipun akal tidak bisa berdiri sendiri tanpa panduan lainnya.

Lihat juga: Perbedaan Akal dengan Fikiran

Bagaimana pembahasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian yang penuh manfaat ini.

Download MP3 Kajian Tentang Berdalil dengan Akal – Tafsir Surah Ali Imran 65


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54623-berdalil-dengan-akal-tafsir-surah-ali-imran-65/